Minggu, 03 April 2011

Keanehan Tata Kota Jakarta

OPINI | 31 January 2010 | 19:09 937 15 2 dari 3 Kompasianer menilai Bermanfaat

Gedung Kantor Bertingkat Tinggi  tiba-tiba muncul di sebelah rumah saya
Gedung Kantor Bertingkat Tinggi tiba-tiba muncul di sebelah rumah saya
Ketika Fauzi Bowo dan pasangannya Prijanto memenangkan pilkada Gubernur Jakarta 2007-2012 sejujurnya saya berharap banyak atas perbaikan tata kota dan transportasi di Jakarta. Betapa tidak, sang gubernur berlatar belakang pendidikan Arsitektur bidang Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig Jerman,tamat 1976, dan program Doktor dari Universitas Kaiserlauterm bidang perencanaan, tamat tahun 2000. Beliaupun sudah mengabdi cukup lama, lebih dari tiga puluh tahun di pemerintahan daerah DKI, sehingga mestinya sudah paham betul seluk-beluk birokrasi dan permasalahannya. Kurang apa lagi ?
Tetapi ternyata saya harus kecewa, karena tidak melihat suatu perbaikan yang berarti setelah lebih dari dua tahun kepemimpinannya. Jakarta semakin macet dan tata ruangpun tetap semrawut. Apalagi secara pribadi saya mengalami pengalaman yang buruk beberapa kali, baik dalam kegiatan bisnis maupun kehidupan pribadi saya. Dalam artikel ini saya ingin cerita dua kisah yang masih teramat hangat.
Pengalaman Buruk dalam Bisnis
Di awal tahun 2008, setelah hampir dua puluh empat tahun berkarir di IBM, meniti karir dari bawah sampai ke posisi puncak, sebagai CEO, saya memutuskan untuk beralih jalur dan menjadi pengusaha, agar bisa menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang. Beberapa langkah segera saya lakukan, diantaranya memilih lokasi kantor. Bertahun-tahun, ketika saya berkantor di Jl. Sudirman dan tinggal di Jakarta Selatan, saya harus menembus kemacetan Jakarta di pagi hari ketika pergi ke kantor, dan di malam hari ketika pulang kantor. Jadi, ketika punya kesempatan berbisnis sendiri, saya ingin punya kantor didaerah perkantoran dekat rumah saja, sehingga tidak harus menambah kemacetan kota Jakarta setiap hari. Pilihan jatuh ke gedung perkantoran di Jalan Pangeran Antasari, hanya lima ratus meter dari daerah perkantoran yang sedang berkembang di jalan T.B. Simatupang. Di sana saya menyewa sebuah gedung kantor, yang punya tempat parkir luas. Sesuai persyaratan, saya membayar uang sewa dua tahun di depan. Tidak ada keragu-raguan sedikit pun ketika saya mendekor interior gedung itu dengan teliti, agar nyaman, karena berharap bisnis saya berkembang dan akan berkantor di sana bertahun-tahun. Di sebelah kiri kantor saya ada kantor Geodis Wilson, perusahaan freight forwarding internasional, dan di kanan saya kantor TNT, perusahaan layanan pengiriman yang terkenal. Bila Anda pernah lewat jalan Pangeran Antasari, yang menghubungkan jalan T.B. Simatupang dan blok M, Anda akan lihat bahwa jalannya begitu lebar, lebih dari cukup untuk empat sampai lima jalur mobil, sehingga memang cocok sebagai daerah perkantoran.
Diluar dugaan saya, daerah itu diperuntukkan sebagai daerah perumahan, sehingga dipertengahan bulan Oktober 2009, ketika kegiatan bisnis saya tengah memuncak, kantor yang saya sewa disegel, bersama-sama dengan 60 tempat usaha lainnya di jalan Pangeran Antasari. Apa daya, dengan hati yang dongkol saya harus dengan terburu-buru mencari lokasi kantor baru dan pindah. Timbul pertanyaan di hati saya, bila disana bukan daerah perkantoran, mengapa dibiarkan gedung perkantoran bertingkat berdiri disana ? Kalau gedung itu tidak ada, tentunya saya dan penyewa gedung lainnya, tidak akan terkecoh dan mengeluarkan uang dan waktu begitu banyak untuk membayar uang sewa dan merenovasi interiornya dengan sia-sia.
Pengalaman Buruk Sebaliknya di Rumah
Seakan tidak cukup hanya di kantor, di rumah pun kami mengalami pengalaman buruk pada posisi sebaliknya. Sejak tahun 1998 kami tinggal di jalan kecil di daerah Ragunan, sangat dekat dengan kebun binatang ragunan. Kami memilih tinggal di sana karena daerah nya yang sejuk dan rimbun. Secara bertahap kami beli tanah dari penduduk di sana, hingga luas tanah kami mendekati tiga ribu meter persegi. Ketika mengajukan ijin bangunan, jelas betul bahwa peruntukannya adalah perumahan dengan koefisien dasar bangunan lima belas persen. Jadi hanya lima belas persen saja dari luas tanah yang boleh di tutupi bangunan. Dengan patuh kami turuti persyaratan itu, sehingga sebagian besar tanah kami tanami rumput hijau dan pepohonan yang rindang. Bermacam-macam pohon buah kami tanam disana ; rambutan, belimbing, duren, sawo, kelapa, melinjo, jambu air dll. Daerah ini memang di peruntukan sebagai daerah resapan, itu sebabnya koefisien dasar bangunannya sangat rendah. Selama lebih dari sepuluh tahun kami menikmati ketenangan dan kenyamanan tinggal di daerah hijau ini. Setiap hari, sesudah penat bekerja di kepadatan kota Jakarta, pulang kerumah rasanya begitu nyaman dengan kesegaran, ketenangan dan kehijauan rumah kami. Hilang rasanya semua kepenatan hari itu.
Rupanya ketenangan itu kini tidak bisa kami nikmati lagi. Di tanah kosong disebelah rumah kami kini tengah di bangun gedung perkantoran milik Bank Rakyat Indonesia ( BRI ). Gedung bertingkat yang sejauh ini sudah dibangun delapan lantai ini sungguh bising pembangunannya, dan dikerjakan siang dan malam. Ketika tiang pancang pondasi nya di tanam, bukan hanya bunyi hantamannya yang sangat gaduh, dinding dan kaca rumah kami pun bergetar dibuatnya. Bagi kami sungguh aneh, bahwa di tengah-tengah perumahan yang asri ini, tiba-tiba muncul gedung bertingkat tinggi. Bagaimana nasibnya koefisien bangunan yang lima belas persen ? Bagaimana dengan peruntukan tanah untuk perumahan di daerah ini ? Apakah dengan mudahnya bisa di ubah menjadi daerah perkantoran ? Apakah dengan mudahnya koefisien bangunan bisa di tambah ? Tidak adakah batasan ketinggian bangunan disini ? Kolam renang yang biasa kami gunakan secara rutin untuk olah ragapun kini tidak lagi dapat kami gunakan. Risih rasanya berenang sementara ada gedung tinggi, yang begitu dekat, penuh dengan jendela kaca menghadap langsung ke kolam renang kami.
Jakarta oh Jakarta….! Kami, bersama dengan enampuluh pengusaha lainnya, diusir dari kantor kami di Jalan Pangeran Antasari, yang begitu lebar jalannya, lebih dari cukup untuk empat atau lima jalur mobil, dengan alasan peruntukannya untuk perumahan. Sementara kenyamanan dan privacy kami di rumah tinggal di daerah perumahan Ragunan di usik dengan dibangunnya gedung perkantoran delapan lantai. Padahal, jalan masuk ke rumah kami adalah jalan perumahan biasa yang sempit. Adakah permainan di balik semua ini ? Entahlah ! Yang jelas, bagi saya semuanya ini sangat tidak masuk akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar